Kebahagiaan
Ada di Rumahku
Namaku Keyna Natalia. Aku
bersekolah di sebuah sekolah elit yang penuh dengan orang-orang kaya yaitu SMP
Harapan Bangsa. Tapi, aku bukan orang kaya. Aku hanyalah anak seorang tukang
becak. Aku bisa bersekolah di sini lewat jalur beasiswa berprestasi dari
pemerintah. Pada saat itu, aku mendapat nilai Ujian Nasional tertinggi
se-Sumatera Selatan.
Setiap hari aku berangkat sekolah menggunakan
sepeda onthelku. Sedangkan teman-teman diantar menggunakan mobil mewah. Hanya
itulah kendaraan yang kami punya. Lagipula sepeda adalah kendaraan bebas
polusi. Jadi tidak mencemari lingkungan.
Aku sangat senang bisa bersekolah di SMP Harapan
Bangsa. Aku merasa setara dengan teman-temanku yang merupakan anak-anak orang
kaya. Di sini tidak mengenal perbedaan status baik yang kaya maupun miskin.
Jadi mereka tidak pernah menyombongkan kekayaan. Akupun selalu mendapat
peringkat satu di sekolah.
Sahabat terbaikku di
sekolah adalah Jessica Graciella. Dia adalah puteri dari seorang pengusaha kaya.
“Mohon perhatian.... Pelajaran hari ini telah
selesai. Silahkan berkemas dan pulang ke rumah masing-masing ” itulah bunyi bel
tanda
pulang sekolah yang akhirnya berbunyi pada pukul 12.00 WIB pada hari Sabtu.
“Keyna... Tunggu!!!”
ternyata Jessica memanggilku.
“Ada apa Jess” sambutku.
“Kamu ingat kan, kita mau ngerjain
PR matematika di rumahku sekalian main. Sepi nih di rumah” Jessica
mengingatkanku tentang janji kemarin.
“Oke, aku sudah bawa
pakaian ganti, nih “ kataku.
“Oke! Kita tunggu supirku
datang ya.” pinta Jessica.
“Ya deh” balasku. Tak lama
kemudian...
“Nah, itu dia. Let’s go!”
kata Jessica sambil menunjuk ke arah mobil Jaguar yang sedang berhenti di depan
sekolah. Kami segera berlari menuju mobil tersebut. Di perjalanan kami
bercengkerama. Ternyata rumah Jessica lumayan jauh dari sekolah. Kami memasuki
pintu gerbang yang bertuliskan “Griya Pondok Indah”. Ternyata Jessica tinggal di
komplek perumahan elit tersebut. Kebanyakan rumah-rumah di sana besar dan
mewah.
Akhirnya sampai juga di
rumah Jessica. Pak satpam membukakan pintu gerbang. Setelah di garasi kami
turun dari mobil dan bersiap masuk ke dalam rumah. Di depan pintu dua orang
pengasuh telah bersiap membawakan tas dan sepatu Jessica. Kami berjalan beriringan menuju kamar Jessica.
Aku sampai terkagum-kagum melihat barang-barang di rumahnya yang mewah-mewah
dan tentunya mahal.
Jessica memiliki dua
pengasuh, satu tukang kebun, tiga pembantu rumah tangga, seorang satpam, dan
seorang supir yang siap melayani dan menjaganya. Mereka sangat menyayangi
Jessica karena Jessica selalu ramah dan tidak pernah membentak mereka.
Kamar Jessica sangat besar dan mewah. Besarnya
kira-kira 5 kali kamarku. Jessica memiliki pintu ukir dari Jepara, baju-baju
bagus dari berbagai negara, karpet dari Turki, boneka Berbie asli yang tersusun
rapi di lemari kaca dari Amerika. Di sana kami berganti pakaian. Aku berganti
pakaian di kamar mandinya. Saat aku keluar dari kamar mandi, Jessica sedang
berteleponan dengan pembantunya.
“Assalammualaikum, Bik” salam Jessica
“Waalaikumsalam, ada apa Non?”
“Bik, apakah ada makanan? Kami ingin makan.”
“Bibi sudah buatkan tujuh muffin untuk Non Jessica
dan temannya”
“Ooh, ya sudah. Kami ke sana ya Bik.
Assalammualaikum”
“Ya Non. Waalaikumsalam” sahut pembantunya.
Jessica mengajakku ke ruang makan untuk menikmati muffin bersama. Muffinnya
sangat lezat dan tampilannya juga cantik sehingga aku ingin tambah satu lagi. Jessica
memakan dua muffin, akupun memakan dua muffin juga.
Setelah makan kami kembali ke kamar untuk
mengerjakan PR matematika aljabar yang berjumlah sepuluh soal. Nomor pertama
sampai nomor 9 kami kerjakan dengan lancar. Tiba di soal terakhir kami
kesulitan mengerjakan soal tersebut.
“Key, papaku kan jago aljabar. Gimana kalau kita
tanya ke papaku aja?” usul Jessica
“Hmmm.... boleh juga tuh!” sahutku. Kami segera
mengambil laptop Jessica dan menelepon papa Jessica menggunakan video call.
“Assalammualaikum, Pa...” Jessica memberi salam
pada papanya.
“Waalaikumsalam, Jess ada apa?” sahut papa Jessica
dengan nada terburu-buru.
“Jessica ada PR matematika yang sulit, Pa. Boleh
tanya nggak?”
“Aduh nak... Papa lagi ada meeting nih, jangan
diganggu dulu ya, nak.” jawab papanya tergesa-gesa. Aku membelalakkan mataku
sambil mengerutkan dahiku. “Astaghfirullah...” kataku dalam hati. Sedih sekali
rasanya mendengar perkataan seperti itu saat kita membutuhkan sesuatu dari
orang tua sendiri.
“Ya sudah, Pa. Assalammualaikum” Jessica menutup
pembicaraan sambil menahan tangis.
“Yayaya. Waalaikumsalam” balas papanya dan
langsung menutup telepon.
“Huh!
Lagi-lagi meeting, meeting, dan meeting!!! Nggak ada waktu untuk
memperhatikanku sama sekali!!!” teriak Jessica sambil menahan tangis.
“Sudahlah Jess, itu semua demi kamu juga, kok”
hiburku.
“Aku tidak butuh rumah mewah, mobil mewah, dan fasilitas
lengkap. Bagiku kasih sayang orang tua lebih penting. Aku juga ingin merasakan
hangatnya berkumpul, makan bersama, belajar dibimbing, dan merangkulku saat
hatiku sedang bersedih. Orang tuaku hanya memanjakanku dengan harta bukan
dengan kasih sayang nyata.” bentaknya dengan berlinang air mata.
“Yang sabar ya, Jess. Jangan nangis lagi. Harusnya
kamu bersyukur punya orang tua yang kaya raya.
“Tapi mereka terlalu sibuk. Ini bukan pertama
kalinya mereka menolak pertanyaan-pertanyaanku di telepon dengan alasan
MEETING!!!” jelasnya sambil menangis
“Hmmm... memangnya mereka pulang bekerja jam
berapa?” tanyaku
“Orang tuaku pulang malam hari saat aku tertidur,
dan saatku terbagun beliau sudah pergi bekerja lagi. Apalagi kalau melakukan
perjalanan bisnis ke luar negeri, aku bahkan tidak bisa bertemu orang tuaku
selama seminggu. Jadi aku hanya diserahkan pada pengasuhku dan di manja dengan
berbagai macam fasilitas mewah.” Jawab Jessica dengan nada lirih
“Oooh
begitu. Udahlah, jangan nangis lagi. Yang sabar ya.” Bujukku supaya Jessica
berhenti menangis. Dalam hati aku merasa lebih beruntung.
“Makasih ya, Key” jawabnya. Kamipun berpelukan dan
Jessica sudah merasa lebih baik.
Tak terasa sudah 3 jam aku menemani Jessica di
rumahnya. Aku harus segera pulang. Jessica memberiku 3 buah kue muffin yang
tadi kami makan. Ternyata Jessica meminta supirnya mengantarkanku pulang dengan
mobilnya, bahkan Jessica ikut juga mengantarku. Rasanya aku ingin cepat-cepat
sampai di rumah dan memeluk orang tuaku.
Sesampainya di rumah, aku segera memeluk ibu dan
ayah. Setelah Jessica berpamitan pulang, kami menikmati muffin yang diberikan
Jessica. Muffin ini terasa lebih enak daripada yang aku makan dengan Jessica,
mungkin karena dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan yang hangat dan
penuh kasih sayang. Aku tak perlu menghayal tentang kebahagiaan lagi, karena
aku sudah menemukan kebahagiaan itu di dalam rumahku ini sendiri.