Minggu, 30 September 2012

Contoh Cerpen "Kebahagiaan Ada di Rumahku"


Kebahagiaan Ada di Rumahku

            Namaku Keyna Natalia. Aku bersekolah di sebuah sekolah elit yang penuh dengan orang-orang kaya yaitu SMP Harapan Bangsa. Tapi, aku bukan orang kaya. Aku hanyalah anak seorang tukang becak. Aku bisa bersekolah di sini lewat jalur beasiswa berprestasi dari pemerintah. Pada saat itu, aku mendapat nilai Ujian Nasional tertinggi se-Sumatera Selatan.
             Setiap hari aku berangkat sekolah menggunakan sepeda onthelku. Sedangkan teman-teman diantar menggunakan mobil mewah. Hanya itulah kendaraan yang kami punya. Lagipula sepeda adalah kendaraan bebas polusi. Jadi tidak mencemari lingkungan.
Aku sangat senang bisa bersekolah di SMP Harapan Bangsa. Aku merasa setara dengan teman-temanku yang merupakan anak-anak orang kaya. Di sini tidak mengenal perbedaan status baik yang kaya maupun miskin. Jadi mereka tidak pernah menyombongkan kekayaan. Akupun selalu mendapat peringkat satu di sekolah.
            Sahabat terbaikku di sekolah adalah Jessica Graciella. Dia adalah puteri dari seorang pengusaha kaya.
“Mohon perhatian.... Pelajaran hari ini telah selesai. Silahkan berkemas dan pulang ke rumah masing-masing ” itulah bunyi bel tanda
pulang sekolah yang akhirnya berbunyi pada pukul 12.00 WIB pada hari Sabtu.
            “Keyna... Tunggu!!!” ternyata Jessica memanggilku.
            “Ada apa Jess” sambutku.
            “Kamu ingat kan, kita mau ngerjain PR matematika di rumahku sekalian main. Sepi nih di rumah” Jessica mengingatkanku tentang janji kemarin.
            “Oke, aku sudah bawa pakaian ganti, nih “ kataku.
            “Oke! Kita tunggu supirku datang ya.” pinta Jessica.  
            “Ya deh” balasku. Tak lama kemudian...
            “Nah, itu dia. Let’s go!” kata Jessica sambil menunjuk ke arah mobil Jaguar yang sedang berhenti di depan sekolah. Kami segera berlari menuju mobil tersebut. Di perjalanan kami bercengkerama. Ternyata rumah Jessica lumayan jauh dari sekolah. Kami memasuki pintu gerbang yang bertuliskan “Griya Pondok Indah”. Ternyata Jessica tinggal di komplek perumahan elit tersebut. Kebanyakan rumah-rumah di sana besar dan mewah.
            Akhirnya sampai juga di rumah Jessica. Pak satpam membukakan pintu gerbang. Setelah di garasi kami turun dari mobil dan bersiap masuk ke dalam rumah. Di depan pintu dua orang pengasuh telah bersiap membawakan tas dan sepatu Jessica.  Kami berjalan beriringan menuju kamar Jessica. Aku sampai terkagum-kagum melihat barang-barang di rumahnya yang mewah-mewah dan tentunya mahal.
            Jessica memiliki dua pengasuh, satu tukang kebun, tiga pembantu rumah tangga, seorang satpam, dan seorang supir yang siap melayani dan menjaganya. Mereka sangat menyayangi Jessica karena Jessica selalu ramah dan tidak pernah membentak mereka.
Kamar Jessica sangat besar dan mewah. Besarnya kira-kira 5 kali kamarku. Jessica memiliki pintu ukir dari Jepara, baju-baju bagus dari berbagai negara, karpet dari Turki, boneka Berbie asli yang tersusun rapi di lemari kaca dari Amerika. Di sana kami berganti pakaian. Aku berganti pakaian di kamar mandinya. Saat aku keluar dari kamar mandi, Jessica sedang berteleponan dengan pembantunya.
“Assalammualaikum, Bik” salam Jessica
“Waalaikumsalam, ada apa Non?”
“Bik, apakah ada makanan? Kami ingin makan.”
“Bibi sudah buatkan tujuh muffin untuk Non Jessica dan temannya”
“Ooh, ya sudah. Kami ke sana ya Bik. Assalammualaikum”
“Ya Non. Waalaikumsalam” sahut pembantunya. Jessica mengajakku ke ruang makan untuk menikmati muffin bersama. Muffinnya sangat lezat dan tampilannya juga cantik sehingga aku ingin tambah satu lagi. Jessica memakan dua muffin, akupun memakan dua muffin juga.
Setelah makan kami kembali ke kamar untuk mengerjakan PR matematika aljabar yang berjumlah sepuluh soal. Nomor pertama sampai nomor 9 kami kerjakan dengan lancar. Tiba di soal terakhir kami kesulitan mengerjakan soal tersebut.
“Key, papaku kan jago aljabar. Gimana kalau kita tanya ke papaku aja?” usul Jessica
“Hmmm.... boleh juga tuh!” sahutku. Kami segera mengambil laptop Jessica dan menelepon papa Jessica menggunakan video call.
“Assalammualaikum, Pa...” Jessica memberi salam pada papanya.
“Waalaikumsalam, Jess ada apa?” sahut papa Jessica dengan nada terburu-buru.
“Jessica ada PR matematika yang sulit, Pa. Boleh tanya nggak?”
“Aduh nak... Papa lagi ada meeting nih, jangan diganggu dulu ya, nak.” jawab papanya tergesa-gesa. Aku membelalakkan mataku sambil mengerutkan dahiku. “Astaghfirullah...” kataku dalam hati. Sedih sekali rasanya mendengar perkataan seperti itu saat kita membutuhkan sesuatu dari orang tua sendiri.
“Ya sudah, Pa. Assalammualaikum” Jessica menutup pembicaraan sambil menahan tangis.
“Yayaya. Waalaikumsalam” balas papanya dan langsung menutup telepon.
    “Huh! Lagi-lagi meeting, meeting, dan meeting!!! Nggak ada waktu untuk memperhatikanku sama sekali!!!” teriak Jessica sambil menahan tangis.
“Sudahlah Jess, itu semua demi kamu juga, kok” hiburku.
“Aku tidak butuh rumah mewah, mobil mewah, dan fasilitas lengkap. Bagiku kasih sayang orang tua lebih penting. Aku juga ingin merasakan hangatnya berkumpul, makan bersama, belajar dibimbing, dan merangkulku saat hatiku sedang bersedih. Orang tuaku hanya memanjakanku dengan harta bukan dengan kasih sayang nyata.” bentaknya dengan berlinang air mata.
“Yang sabar ya, Jess. Jangan nangis lagi. Harusnya kamu bersyukur punya orang tua yang kaya raya.
“Tapi mereka terlalu sibuk. Ini bukan pertama kalinya mereka menolak pertanyaan-pertanyaanku di telepon dengan alasan MEETING!!!” jelasnya sambil menangis
“Hmmm... memangnya mereka pulang bekerja jam berapa?” tanyaku
“Orang tuaku pulang malam hari saat aku tertidur, dan saatku terbagun beliau sudah pergi bekerja lagi. Apalagi kalau melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, aku bahkan tidak bisa bertemu orang tuaku selama seminggu. Jadi aku hanya diserahkan pada pengasuhku dan di manja dengan berbagai macam fasilitas mewah.” Jawab Jessica dengan nada lirih
 “Oooh begitu. Udahlah, jangan nangis lagi. Yang sabar ya.” Bujukku supaya Jessica berhenti menangis. Dalam hati aku merasa lebih beruntung.
“Makasih ya, Key” jawabnya. Kamipun berpelukan dan Jessica sudah merasa lebih baik.
Tak terasa sudah 3 jam aku menemani Jessica di rumahnya. Aku harus segera pulang. Jessica memberiku 3 buah kue muffin yang tadi kami makan. Ternyata Jessica meminta supirnya mengantarkanku pulang dengan mobilnya, bahkan Jessica ikut juga mengantarku. Rasanya aku ingin cepat-cepat sampai di rumah dan memeluk orang tuaku.
Sesampainya di rumah, aku segera memeluk ibu dan ayah. Setelah Jessica berpamitan pulang, kami menikmati muffin yang diberikan Jessica. Muffin ini terasa lebih enak daripada yang aku makan dengan Jessica, mungkin karena dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan yang hangat dan penuh kasih sayang. Aku tak perlu menghayal tentang kebahagiaan lagi, karena aku sudah menemukan kebahagiaan itu di dalam rumahku ini sendiri.




By : Nadya Pitaloka